Pasang Iklan Anda Disini
ARTICLE AD BOX
Keputusan MK ini kan sebetulnya hanya menjadi dasar hukum. Sekarang tantangannya adalah gimana produktivitas kampus
Yogyakarta (ANTARA) - Universitas Gadjah Mada (UGM) menyambut positif putusan Mahkamah Konstitusi nan memperbolehkan lembaga pendidikan alias kampus menjadi tempat kampanye bagi para kandidat calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2024.
Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian Masyarakat, dan Alumni UGM Arie Sujito saat ditemui di Gedung Pusat UGM, Yogyakarta, Kamis, mengatakan putusan MK tersebut bakal menjadi sarana kampus berkedudukan membawa kerakyatan lebih berarti melalui arena pemilu.
"Keputusan MK ini kan sebetulnya hanya menjadi dasar hukum. Sekarang tantangannya adalah gimana produktivitas kampus. Kami di UGM pasti bakal memungkinkan itu dikerjakan," kata dia.
Aturan nan memperbolehkan kampanye di kampus, menurut Arie, perlu dimaknai dalam kerangka pendidikan politik mengingat kampus sebagai lembaga akademik juga mempunyai peran sebagai pilar demokrasi.
"Kan kampus itu sebagai pilar kerakyatan juga. Sebagai pilar kerakyatan dia kudu punya peran di dalam memanfaatkan satu bagian nan disebut dengan pemilu," ujar Sosiolog UGM ini.
Dia menilai selama ini banyak pihak nan fobia dengan istilah kampanye dan menganggapnya sebagai ancaman bagi stabilitas kampus.
Baca juga: Ganjar dukung putusan MK perbolehkan kampanye di kampus
Baca juga: Menko PMK: Sebaiknya lembaga pendidikan tidak dipakai untuk kampanye
Baginya, kesan semacam itu dimunculkan lantaran banyak parpol alias politisi nan condong lebih memilih menggunakan sarana iklan alias perangkat peraga lainnya dalam berkampanye.
Dalam konteks pendidikan politik, menurut Arie, kampus mempunyai peran memberi bekal bagi publik termasuk mahasiswa dengan memformulasikan kampanye dalam corak debat, dialog, diskusi, alias membangun argumen antar-masing-masing kandidat.
"Kampanye itu tidak kudu pakai model lama nan konvensional. Dia bisa berdebat, berdiskusi, membahas topik-topik tertentu secara tematik. Itu nan sebetulnya melandasi, maka kuncinya adalah gimana membikin politik dan pemilu itu tidak menakutkan," ujar Arie.
Debat nan digelar di kampus, kata Arie, juga dapat menutup kesempatan masing-masing kandidat menggunakan info hoaks untuk berkampanye.
Melalui sarana itu pula, publik dapat menilai kandidat mana nan mempunyai komitmen, rekam jejak, serta gimana langkah menjawab alias merespons setiap persoalan.
"Orang jika mengumpat kan ketahuan oh ini hoaks, jangan nunggu Bawaslu melaporkan publik sudah tahu, lantaran ukurannya bukan soal pasal tapi ukurannya adalah etik. Jadi membawa pemilu itu ke dalam etika publik, membawa pemilu menjadi milik publik, bukan hanya miliknya KPU, Bawaslu, dan Parpol," tutur dia.
Dalam impelementasi-nya, menurut Arie, perguruan tinggi kelak perlu menyepakati patokan misalnya formatnya dalam corak perbincangan alias debat dengan tanpa disertai adanya perangkat peraga kampanye serta disiarkan secara langsung melalui media sosial masing-masing kampus.
Baca juga: Wapres ingatkan kerawanan polarisasi pilihan politik di kampus
Selain itu, perlu pula mengundang penyelenggara pemilu KPU serta Bawaslu dalam setiap gelaran kampanye nan dikemas dalam corak debat alias perbincangan tersebut.
"Tidak usah pakai perangkat peraga nan menciptakan sentimen nan berlebihan, kemudian jangan hanya dengan jargon-jargon, ngomong teriak-teriak begitu tapi bicara soal tematik tertentu soal energi, soal pangan, soal pendidikan, soal integrasi nasional, soal teknologi alias lainnya," ujar dia.
Sebelumnya, putusan Majelis Hakim MK nomor 65/PUU-XXI/2023, pada Selasa (15/8/) memperbolehkan peserta pemilu berkampanye di akomodasi pemerintah dan pendidikan (sekolah dan kampus) namun sepanjang tidak menggunakan atribut kampanye.
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Chandra Hamdani Noor
COPYRIGHT © ANTARA 2023