Pasang Iklan Anda Disini
ARTICLE AD BOX
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan persoalan pembiayaan (financing) dalam pembicaraan tentang keberlanjutan (sustainability) selalu menjadi batu sandungan.
Pernyataan tersebut disampaikan Menkeu dalam Gala Dinner Indonesia Sustainability Forum 2023 dengan dengan topik “Indonesia Welcomes Further International Collaboration for a Better Tomorrow” yang dipantau secara virtual, di Jakarta, Kamis.
“Ketika kita berbincang tentang keberlanjutan, kita semua selalu dihadapkan pada batu sandungan nan sangat penting, ialah pembiayaan. Banyak nan sudah memperkirakan apa nan sebenarnya diperlukan untuk menyelamatkan bumi dari ancaman perubahan suasana ini. Keuangan berkepanjangan adalah salah satu perihal nan paling penting, dan kita semua tahu bahwa kebutuhan untuk memobilisasi pembiayaan sangatlah penting,” ujar Sri Mulyani.
Sri Mulyani memberi contoh, misalnya di Indonesia nan dinilai bakal terus bertumbuh, sehingga elastisitas permintaan daya bakal jauh lebih tinggi. Dalam arti, setiap pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen di Tanah Air membikin pertumbuhan daya jauh lebih besar.
Untuk menghindari peningkatan emisi karbon nan dihasilkan dari pertumbuhan energi, maka perlu dilakukan investasi lebih banyak dalam daya terbarukan agar pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap berlanjut.
Berdasarkan hasil pembahasan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dalam Conference of the Parties (COP) 26 di Glasgow, Skotlandia diperkirakan Indonesia memerlukan 280 miliar dolar Amerika Serikat (AS) untuk bisa mencapai sasaran Nationally Determined Contribution/NDC mengurangi karbondioksida (CO2) lebih dari 42 persen pada 2030.
“Kami melakukan cukup banyak pengambilan anggaran, publikasi green sukuk, green bond. Kami juga menciptakan pembiayaan campuran (blended finance). Hal ini agar kita bisa menciptakan platform kemitraan,” ujarnya lagi.
Menurut Sri Mulyani, obrolan saat ini bukan lagi pada tataran gimana mewujudkan kerja sama pembiayaan campuran dalam skema kemitraan. Namun, gimana menciptakan skalabilitas dengan menguji langkah kerja menurunkan emisi karbon untuk proyek tertentu.
Iklan
Sebagai contoh, pemerintah disebut bakal menghentikan penggunaan batu bara sebelum mengidentifikasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Sekarang, pemerintah sudah berada pada level pembahasan berapa banyak nan diperlukan untuk mempensiunkan PLTU batu bara. Hal ini dinilai bakal berakibat pada neraca perusahaan listrik PT PLN (Persero).
Jika batu bara dipensiunkan, kata dia lagi, maka komoditas tersebut menjadi aset terbengkalai. Selain itu, laporan neraca perusahaan batu bara perlu diisi kembali oleh ekuitas nan telah berkurang dengan daya terbarukan nan memerlukan shopping modal ketika suku kembang saat ini sedang mahal.
“Ini semua menjadi masalah nyata nan teridentifikasi, bukan lagi sekadar bicara duit triliunan alias 280 triliun (dolar AS),” kata dia.
Menkeu mencontohkan rencana pensiun awal PLTU-1 Cirebon di Jawa Barat nan bakal mengurangi 4,4 juta ton CO2 dalam waktu 7 tahun dengan kebutuhan biaya sebanyak 330 juta dolar AS. Sehingga, kudu dipadukan ekuitas dan pinjaman untuk pembiayaan perusahaan tersebut.
Pada sisi lain, ketika suku kembang menjadi mahal, maka perlu ada nan menanggung lagi pembiayaan tersebut. Karena itu, Menkeu menekankan bahwa pemerintah bersungguh-sungguh untuk menciptakan kemajuan baru untuk mengurangi emisi karbon.
“Jika tidak, maka kita bakal membicarakan forum keberlanjutan di banyak tempat berbeda, semua orang terbang (menggunakan pesawat terbang) dan, tentu saja, mempunyai jarak tempuh dan mengurangi CO2 tetapi tidak memberikan hasil, dan kita menciptakan situasi nan lebih jelek bagi dunia. Jadi, setiap pertemuan, kita kudu mempunyai ambisi bahwa ada kemajuan nan perlu dicapai dan di mana persoalan nan perlu diselesaikan,” ujar Sri Mulyani pula.
Pilihan Editor: Ganjar Pranowo Ditemani Cak Lontong Promosi Investasi ke Seratus Pengusaha